PENGOMPOSAN
A. Latar Belakang
1. Bahan Organik - Kekayaan Alam yang Terabaikan
Sebagai daerah tropis, Indonesia kaya akan berbagai jenis tanaman yang berarti juga mempunyai ketersediaan bahan organik yang berlimpah. Bahan organik merupakan bahan-bahan yang dapat diurai atau dirombak oleh mikroorganisme menjadi unsur-unsur dasar pembentuknya. Pada umumnya jaringan tumbuhan sebagian besar tersusun dari air rata-rata 75% dan sisanya padatan. Padatan biasanya terdiri dari hidrat arang 60%, protein 10%, lignin 10-30% dan lemak 1-8%. Namun apabila ditinjau dari susunan unsur, terdiri dari karbon (C) 44%, oksigen (O2) 40%, hidrogen dan abu (semua unsur yang terserap diluar C,H dan O) masing-masing 8%.
Berdasarkan kelimpahan bahan organik dan kekayaan kandungannya, sebenarnya para petani tidak perlu kebingungan untuk bercocok tanam. Harga pupuk yang tinggi dan kelangkaan yang sering terjadi, tidak perlu dipersoalkan jika mereka mampu mengelola bahan organik. Proses pelapukan atau dekomposisi bahan organik secara alami, memang berlangsung relatif lama. Sisa-sisa bahan organik yang jatuh di atas tanah mengalami proses pelapukan baik secara fisik (suhu, kelembahan, air, dan panas), secara biologi (mikroorganisme) dan kimia. Akan tetapi mesin pengolah tersedia dimana-mana seperti berbagai jenis hewan ternak yang dapat dipelihara. Ketersediaan biota pengurai juga sangat banyak dan dapat ditemukan di kawasan yang jarang disentuh manusia.
Tanah sebagai tumpuan kehidupan memegang peranan utama dalam proses dekomposisi. Akan tetapi, perubahan aktifitas manusia telah menganggu kemampuan tanah dalam melakukan proses dekomposisi dan menyediakan bahan kehidupan. Peran tanah sebagai bio-reaktor dirubah menjadi gudang bahan-bahan kimia yang dimasukkan lewat pupuk dan pestisida non organik. Sumber bahan organik dari biomasa maupun batuan menjadi lambat dirombak, karena biota pengurainya tidak berkembang. Pada akhirnya, mekanisme alamiah perputaran bahan makanan terganggu dan kondisi ini sering disebut tanah sakit atau mati.
2. Proses Dekomposisi - Penjaga Keberlanjutan Hidup
Sumber bahan organik utama adalah jaringan tanaman, mulai dari batang, daun, buah sampai akarnya. Sedangkan sumber lain adalah fauna dan batuan. Perbedaan sumber bahan organik memberikan dampak masukan yang berbeda juga ke dalam tanah. Akibatnya kandungan bahan organik dalam setiap jenis tanah tidak sama. Tipe vegetasi sebagai sumber pasokan utama bahan organik, populasi mikroorganisme, keadaan drainase tanah, curah hujan, suhu dan pengelolaan tanah mempengaruhi kandungan bahan organik dalam tanah. Proses dekomposisi ini tidak pernah berhenti jika pasokan bahan organik terus ditambahkan ke dalam tanah. Produkstivitas tanah menjadi bio rektor inilah yang menjadi ukuran dari tingkat kesuburan tanah.
Proses dekomposisi secara alami berjalan lambat, proses pelapukan bahan organik menjadi humus setebal 1 cm membutuhkan waktu puluhan tahun. Pertama bahan organik segar menjadi layu, dalam proses ini kandungan air dalam bahan organik berkurang. Selanjutnya proses penghancuran secara fisik oleh mikroorganisme (jamur dan bakteri) maupun hewan tanah (cacing, semut dan lain-lain). Proses ini diikuti dengan proses penguraian oleh aktifitas mikroorganisme sangat tinggi. Tingginya aktifitas menyebabkan suhu menjadi panas, pda proses ini bahan organik mulai terurai menjadi senyawa-senyawa penyusunnya. Tahap terakhir adalah pemasakan kompos. Pada tahap ini aktifitas mikroorganisme sudah menurun, bahan organik yang tidak terurai menjadi senyawa pembentuk humus.
Secara biologi, awal proses perombakan yang aktif adalah mikroorganisme aerop atau yang dalam hidupnya membutuhkan oksigen. Aktifitas mikroorganisme dalam merombak bahan organik menghasilkan panas dan uap air, sehingga pada suhu panas tertentu akan ada seleksi alamiah terhadap mikroorganisme yang berkembang. Ketika suhu tinggi golongan “Bakteri Thermofili yang aktif bekerja merombak bahan organik.
Bahan organik yang telah mengalami proses dekomposisi, tektur dan warnanya menjadi homogen yang sering disebut kompos. Bahan ini mengandung asam fulvik yang mudah larut dan dapat menyediaan makanan bagi tanaman. Sedangkan sisa proses dekomposisi yang tidak dapat lagi diurai disebut humus. Bahan ini bentuknya ringan dan berbulu serta resisten terhadap proses kimia karena bersifat menyerupai liat (koloidal), amorf (bentuknya tidak beraturan). Humus ini dapat memperbaiki kondisi tanah karena mempunyai beberapa kemampuan seperti; (1) kapasitas tukar ion lebih tinggi dibanding liat dengan jenis muatan negatif, (2) menyerap air sampai 90% dari bobotnya, (3) sumber energi mikroorganisme.
3. Tanah - Mesin Alam Penyedia Makanan
Tanah pada umumnya mengandung bahan mineral, air, udara, bahan organik, dan mahluk hidup (tumbuhan tingkat tinggi, binatang, bakteri, jamur, ganggang – algae, dan protozoa). Sususan bahan-bahan tersebut bervariasi, umumnya air dan udara dalam tanah porsinya bisa mencapai 50%. Udara dan air memberi porisitas pada tanah. Bagian mineral biasanya tidak sampai mencapai 50%, mineral berasal dari pelapukan batuan. Bahan organik biasanya mencapai 3 – 6%. Sedangkan jasad renik dalam tanah yang aktivitasnya sangat mempengaruhi keseimbangan lingkungan tanah, biasanya jumlahnya kurang dari 1%.
Sifat fisik dan kimia tanah akan menentukan keadaan lingkungan tempat tumbuh jasad renik. Keadaan lingkungan yang baik akan memberikan keragaman jenis komunitas jasad renik yang ada, baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Lingkungan tanah tempat hidup jasad renik yang baik ditentukan oleh air, udara, dan sumber nutrisi dari zat organik maupun anorganik yang tersedia. Hubungan antara tanah dan jasad renik menjaga keseimbangan lingkungan tanah. Tanah memelihara keadaan dari perubahan drastis yang terjadi karena kondisi cuaca.
Secara mikrobiologi, tanah dapat dipandang sebagai wadah, media yang dinamis untuk para penghuni bawah tanah dengan kandungan zat yang sebelumnya tidak bisa diambil langsung oleh tanaman menjadi bisa diambil melalui bantuan jasad renik. Jasad renik dalam tanah tidak hidup sendirian. Kehidupan jasad renik merupakan bagian dari sistem kehidupan dalam lingkungan yang saling kait mengkait diatur oleh keseimbangan lingkungan secara keseluruhan. Aktivitas manusia mempengaruhi keseimbangan kehidupan dalam tanah, misalnya menyemprot tanaman dengan fungisida akan dapat membunuh jamur tetapi juga akan menyebabkan kehidupan jasad renik lainnya terganggu.
4. Biota Pengurai - Pekerja Pengolah Makanan
Mahluk hidup penghuni tanah terdiri dari bergai jenis, baik yang berukuran besar (makro) maupun berukuran kecil (mikro). Jasad besar (makro organisme) seperti akar tanaman, cacing , berbagai jenis kumbang dan serangga lainnya adalah penghuni yang dapat dilihat secara kasat mata. Sedangkan jasad renik (mikro organisme) terdiri dari bakteri, mycoriza (ragi), jamur, ganggang (algae), protozoa, dan virus.
Bakteri atau kuman sering diartikan negatif. Dunia ilmu pengetahuan mengenal kuman dalam kaitan dengan kehidupan kita menjadi dua kelompok besar, yaitu bakteri pathogen dan bakteri probiotik. Bakteri pathogen merupakan bakteri yang menyebabkan sakit, misalkan Cholera, Typhus, TBC, atau bakteri yang menyebabkan penyakit pada tanaman dan hewan ternak. Selain bakteri, ada jenis ragi dan jamur yang juga dapat menyebabkan penyakit. Sedangkan Bakteri Probiotik adalah bakteri yang menguntungkan bagi manusia seperti bakteri Lactobacillus dalam usus yang membantu pencernaan makanan dan ragi untuk membuat tape atau tempe.
Biota pengurai (dekomposer) bahan organik memegang peranan penting dalam menjaga keberlanjutan hidup. Melalui aktivitas hidupnya, bahan organik dari tumbuhan atau hewan yang mati diurai menjadi unsur-unsur yang sederhana dan dapat langsung dimanfaatkan oleh tanaman. Akan tetapi, biota pengurai memerlukan kondisi yang cocok untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Dalam kondisi lingkungan yang kurang mendukung, seperti ketersediaan makanan kurang, kurang air, terlalu asam, atau, jika dalam tanah kurang udara, maka bakteri, ragi, dan jamur sulit tumbuh.
Hubungan antara kehidupan jasad renik dengan kehidupan tanaman sangat unik. Jasad renik yang tumbuh di sekitar tanaman akan menghasilkan unsur-unsur seperti mineral, vitamin, enzim, dan hormon yang dapat memberi manfaat untuk kesuburan tanaman. Demikian juga tanaman yang menghasilkan daun-daun berguguran dan kondisi lingkungan yang teduh dan lembab akan memberi lingkungan yang baik untuk jasad renik tumbuh berkembang. Di dalam hutan dengan tanaman yang tumbuhan lebat biasanya terus menerus terjadi peguraian sisa-sisa tanaman yang akan membuat tanah di sekitarnya menjadi gembur dan subur baik untuk jasad renik maupun untuk tanaman itu sendiri.
B. Teknik Pengomposan
1. Belajar dari Kearifan Leluhur
Sejak dahulu manusia sudah menerapkan proses alamiah pengomposan untuk tujuan menggemburkan tanah atau membuat lingkungan tanah agar menjadi subur. Salah satu proses yang sederhana adalah mengambil humus dari hutan kemudian dicampur dengan tanah pertanian. Cara ini dimaksudkan untuk menularkan kondisi humus agar dapat memperbaiki tanah pertanian yang diberi humus. Proses yang lain adalah menimbun sampah atau bahan organik dalam kondisi yang lembab dan membiarkan sampai lapuk kemudian memanfaatkan lapukan bahan organik sebagai kompos. Lubang sampah yang dibuat di pekarangan dan pojokan lahan sawah atau tegal menjadi tabungan pupuk sekaligus sumur resapan. Praktek-praktek sederhana ini dijalankan secara tekun oleh nenek moyang kita, tanpa ajaran teknologi.
Kotoran hewan memamah biak (sapi, kerbau, atau kambing) dapat juga digunakan sebagai bahan untuk kompos dengan harapan jasad renik yang lepas dari hewan itu dapat terus bekerja mengurai bahan-bahan organik yang masih tersisa. Penggunaan kotoran hewan bahkan manusia sudah dilakukan sejak dahulu. Kearifan leluhur ini didasarkan pada pitutur “GEMI LEMI” yang diturunkan dari generasi ke generasi. Akan tetapi, perjalanan warisan kearifan leluhur ini terpangkas oleh sebuah gerakan intensifikasi pertanian yang terkenal dengan istilah “Revolusi Hijau”. Perubahan budaya dan sosial masyarakat tani ini mesti dibayar mahal dengan ancaman kemandegan dari keberlanjutan pertanian.
2. Mempercepat Proses Dekomposisi
Teknologi untuk mempercepat proses dekomposisi mulai diperkenalkan kepada petani indonesia awal tahun 90-an. Prinsip percepatan dekomposisi adalah pengkayaan nutrisi dan stimulus jasad renik pengurai serta menciptakan kondisi lingkungan sekitar yang mendukung, seperti kelembaban, aerasi, dan dan keasaman (pH). Dengan upaya ini juga jumlah jasad yang bekerja untuk proses dekomposisi dapat mencapai lebih dari 20% jumlah biomas yang diuraikan. Jasad renik pengurai umumnya adalah jasad renik probiotik yang dapat ditemukan di sekitar kita. Kebutuhan hidup jasad renik pengurai biasanya juga sangat sederhana, berupa mineral dan nutrisi dengan kandungan karbohidrat yang cukup. Percepatan proses dekomposisi dengan metode pengkayaan nutrisi dan stimulus jasad renik pengurai ini menjadi teknik pengomposan yang terus berkembang dari tahun ke tahun.
Teknik mengisolasi dan memperbanyak jasad renik pengurai diterapkan untuk menyediakan perombak bahan organik dalam jumlah yang cukup banyak. Teknik ini sebenarnya sangat sederhana dengan tiga prinsip yang harus dijalankan, yaitu; (1) membuat media isolasi atau perbanyakan yang steril, (2) menyediakan makanan dengan komposisi yang pas seperti kandungan gula antara 3-5%, dan (3) mengambil sumber jasad renik yang sudah teradaptasi dengan lingkungan kita. Akan tetapi keberhasilan teknik ini direspon para pelaku usaha untuk membuat produk pro-biotik.
Persoalan yang muncul adalah masyarakat menanggapi teknologi ini begitu sederhana. Perubahan pola pikir yang ingin serba praktis dan cepat, membentuk perilaku komsumtif dengan membeli produk tanpa pemahaman akan proses kerjanya. Pada akhirnya, teknologi percepatan proses dekomposisi hanya berdampak pada kekaguman dan penerapan selintas. Prinsip menciptakan perputaran nutrisi tidak dijalankan dan hanya cenderung menggunakan pupuk organik. Banjir pupuk organik dengan berbagai bentuk menciptakan ketergantungan baru bagi petani. Gerakan pertanian organik sering hanya ditandai dengan penggunaan pupuk organik.
3. Membuat Biang Kompos
Jasad renik pengurai sebenarnya secara alamiah ada di sekitar kita dan berkembang ketika ada makanan dan kondisi yang cocok. Sisa panen atau makanan yang membusuk adalah tempat di mana jasad renik pengurai berada. Jenis jasad renik tergantung jenis bahan organik yang diurai, seperti pembusukan buah pisang oleh Bakteri Lakto, sedangkan pembusukan buah nanas oleh Bakteri Anona. Pembusukan umbi-umbian seperti bawang merah, talas, dan empon-empon juga mempunyai jasad renik jenis tersendiri. Dari bahan makanan yang merupakan hasil proses fermentasi, kita juga dapat menemukan jenis jasad renik khusus, seperti pada tempe, tape, atau cuka. Akan tetapi, jika kita membutuhkan jasad renik dengan berbagai jenis dan aktif bekerja, rumen (kotoran ternak di dalam perut) dan humus dari hutan adalah sumber bahannya.
Secara umum Biang kompos atau biota pengurai mengandung lima kelompok mikro-oganisme utama yaitu (1) bakteri fotosintetik, (2) bakteri asam laktat, (3) Ragi (yeast), (4) Actinomycetes dan (5) jamur fermentasi. Meskipun tiap kelompok mikro-organisme ini mempunyai fungsi masing-masing dalam proses dekomposisi. Akan tetapi Bakteri Fotosintetik adalah pelaksana terpenting karena mendukung fungsi mikroorganisme lain dan memanfatkan zat-zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme lainnya. Cara membuat biang kompos melalui proses fermentasi bahan-bahan yang dapat mengasilkan ke lima kelompok mikro-organisme tersebut. Salah satu cara yang sederhana adalah sebagai berikut:
Bahan-bahan :
• 2 liter susu sapi atau susu kambing murni (perlu diperhatikan susu jangan yang sudah basi karena kemampuan bakteri sudah berkurang)
• 1 kg rumen atau Isi usus ayam/kambing, (yang dibutuhkan adalah bakteri di dalam usus).
• 250 gram terasi (terbuat dari kepala/kulit udang, kepala ikan)
• 1 buah nanas (proses pembusukan nanas yang dilakukan bakteri Anona juga berfungsi untuk menghilangkan bau)
• 0,5 kg Gula pasir (perasan tebu)
• 2 kg bekatul
• 10 liter air bersih
• Alat; Panci, kompor, blender, parutan, dan kain penyaring.
Cara pembuatan :
• Nanas diparut atau diblender.
• Trasi, gula pasir, bekatul, nanas (yang dihaluskan) dimasak agar bakteri lain yang tidak diperlukan mati. Setelah mendidih, hasil adonannya didinginkan.
• Tambahkan susu dan rumen lalu aduk sampai rata.
• Wadah fermentasi ditutup rapat selama satu hari dan akan timbul gelembung-gelembung. Aduk kembali adonan ini selama sepuluh menit dan tutup kembali rapat rapat.
• Setelah dua hari, proses fermentasi akan selesai dan mengahasilkan larutan yang kental/lengket.
Catatan :
Biang kompos ini akan menjadi pasif jika tidak dikembangkan pada media tumbuh yang lain. Oleh karena itu, kita perlu memperbanyak sekaligus memperkaya kandungan biota pengurainya.
4. Berternak Biota Pengurai
Biang kompos yang sudah jadi diperbanyak sebelum digunakan sebagai starter pengomposan. Selain menambah jumlah biota pengurai, proses perbanyakan juga untuk mengatifkan sehingga akan cepat berfungsi. Cara sederhana memperbanyak atau beternak biota pengurai adalah sebagai berikut:
Alat dan Bahan
• 1 liter biang kompos.
• 1 kg bekatul sebagai sumber nutrisi jasad renik
• ¼ kg gula merah atau tetes tebu sebagai sumber energi jasad renik
• ¼ kg terasi sebagai salah satu sumber bio-fermentasi.
• 5 liter air sebagai pelarut bahan
• Alat yang diperlukan; ember, pengaduk, dandang/panci untuk memasak, saringan dari kain dan botol untuk menyimpan produk jadi.
Cara Pembiakan:
• Panaskan 5 liter air sampai mendidih, kemudian masukkan terasi, bekatul dan tetes tebu/gula, lalu aduk hingga rata (jika memakai gula merah harus dihancurkan dulu).
• Setelah campuran rata, dinginkan sampai betul-betul dingin dan masukkan ke dalam tong atau wadah fermentor (jika tidak betul-betul dingin, adonan justru dapat membunuh bakteri yang akan dibiakkan).
• Masukkan biang bakteri dari bahan tertentu (pisang, nanas, humus) lalu aduk sampai rata. Dan ditutup rapat.
• Proses fermentasi berlangsung selama dua hari. Pada hari ketiga dan selanjutnya tutup jangan terlalu rapat dan diaduk setiap hari kurang lebih 10 menit.
• Setelah 3-4 hari bakteri sudah dapat diambil dengan disaring, kemudian disimpan dalam botol yang terbuka atau ditutup tapi jangan terlalu rapat (agar bakteri tetap mendapatkan oksigen dari udara).
• Selanjutnya, botol-botol bakteri tersebut siap digunakan untuk membuat kompos baik dalam bentuk cair maupun padat.
Catatan:
Hasil fermetasi biang kompos ini jika ingin digunakan harus dilarutkan dulu ke dalam larutan gula 3-5%. Konsentrasi larutan biang kompos berkisar 10-20% dan disiramkan / disemprotkan pada bahan organik yang kan dibuat kompos. Sedangkan ampas hasil saringan dapat untuk membiakkan lagi dengan menyiapkan air kurang lebih 1 liter dengan menambahkan air matang dingin dan gula 3-5% saja.
5. Teknik Pengomposan
Pada dasarnya pengomposan adalah pengaturan ruang dan bahan sehingga kondisinya sesuai dengan kebutuhan hidup jasad renik pengurai. Ketersediaan tempat dan makanan akan mendorong jasad renik lebih aktif dan berkembang secara maksimal. Proses perombakan fisik dapat dimanipulasi atau dibantu dengan memotong atau mencacah bahan organik. Semakin kecil ukuran bahan organik maka permukaannya akan semakin luas, sehingga memberi kesempatan yang lebih besar untuk perkembangan jasad penguarai. Contoh sederhana pengomposan adalah sebagai berikut:
Bahan dan alat:
• 200 kg seresah atau bahan organik dari sisa panen atau biomasa tanaman.
• 200 kg kotoran hewan; selain sebagai bahan organik juga penyedia biota pengurai.
• 100 kg arang sekam / berambut; berfungsi sebagai pembentuk pori, penetral keasaman sekaligus juga penghilang bau busuk.
• 5 kg dedak atau bekatul; sumber makanan bagi biota pengurai.
• 1 kg tetes (molasses) atau gula merah; sumber energi biota pengurai.
• Kapur pertanian 2 kg; sebagai penetral keasaman.
• 1 liter biang kompos (massa bakteri)
• Air secukupnya
• Alat; cangkul, sekop, ember, gembor.
Cara Pembuatan:
• Bahan organik (daun-daunan) dipotong-potong atau dihancurkan agar ukurannya menjadi lebih kecil.
• Semua bahan organik (daun, kotoran hewan, arang sekam) ditumpuk secara berlapis. lapisan paling bawah adalah hijauan (daun-daunan), kemudian pupuk kandang, diatasnya arang sekam dan paling atas adalah dedak dan kapur pertanian. Dalam satu tumpukan paling tidak ada tiga lapisan dengan ketebalan tiap bahan kurang lebih 20 cm.
• Campurkan bakteri ke dalam air dan ditambah molasses atau air gula kemudian siramkan di atas setiap lapisan.
• Tutup dengan plastic, daun-daunan atau tanah tipis-tipis. Tiap 4-5 hari sekali disiram dengan air dan diaduk-aduk.
• Dalam 12 -15 hari kompos sudah jadi.
Teknik pengomposan berkembang dari waktu ke waktu, untuk menyesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat dan cenderung meningkatkan kepraktisannya.
6. Teknik Fermentasi
Pada dasarnya fermentasi adalah proses pengomposan dalam kondisi anaerob (tidak tersedia oksigen). Pemahaman di masyarakat, umumnya fermentasi dipahami sebagai proses pengomposan limbah cair. Limbah cair ternak (unine) sangat kaya akan asam amino dan senyawa hara bentuk lainnya. Urine yang difermentasi mengandung unsur nitrogen yang terikat dengan unsur lain yang cukup tinggi. Contoh sederhana pengomposan adalah sebagai berikut:
Bahan dan alat:
• 100 liter urine ternak (sapi atau kelinci).
• 2 kg rumen (kotoran hewan yang masih ada di perut).
• 5 kg dedak atau bekatul
• 5 kg tetes (molasses) atau gula merah
• 1 kg trasi
• 2 kg pertanian.
• 1 liter biang kompos (massa bakteri)
• Empon-empon
• Alat; Wadah fermentor (didesian khusus), kompor, panci atau wadah untuk memasak lainnya, ember.
Cara Pembuatan:
• Memasak 10 liter air sampai mendidih kemudian bekatul, gula merah, trasi dimasukkan dan diaduk merata.
• Membuat larutan empon-empon dengan memarut dan memasaknya.
• Urine ternak dimasukkan ke dalam wadah fermentor kemudian masukkan rumen dan biang kompos lalu aduk-aduk.
• Masukkan 2,5 liter larutan bekatul, gula merah dan trasi kemudian aduk sampai merata.
• Biarkan bahan ini mengalami proses fermentasi selama 3 hari. Pada hari ke empat masukkan lagi 2,5 liter larutan bekatul. Proses ini diulang sampai empat kali yang berarti sampai mencapai 12-15 hari fermentasi.
• Pada hari ke 15 masukkan larutan empon-empon dan biarkan terfermentasi selama satu hari.
• Hasil fermentasi urin ini disaring dan dimasukkan ke dalam wadah yang bersih atau botol dan siap untuk digunakan atau disimpan.
Catatan: Penggunaan fermentasi urine harus dilarutkan dengan konsentrai 5 % untuk disiramkankan dan 10% jika disemprotkan.
C. Praktek Pengomposan Terpadu
Kita akan kesulitan mendapatkan praktek pengomposan dengan teknik konvensional yang berkelanjutan. Selain perusahaan yang memang bergerak dalam usaha pembuatan pupuk organik, para petani merasa enggan melakukan secara mandiri. Beberapa petani melakukan pengomposan secara sederhana dan tidak menargetkan percepatan waktu. Praktek pengomposan yang dipadukan dengan usaha lainnya, lebih diminati ketimbang terpaku pada pengomposan.
1. Keranjang Dekomposer Sampah Rumah Tangga
Sampah organik rumah tangga, seperti sisa memasak dan sisa makanan selalu ada di setiap hari. Kita sering membuang sampah tersebut bercampur dengan sampah lain tanpa memperhatikan bahayanya proses pembusukan di sekitar rumah dan potensi berharganya sampah tersebut. Jika sampah rumah tangga dapat diolah menjadi kompos dan dimanfaatkan sebagai media tanam di pekarangan dan pot, kita akan mendapat keuntungan yang berlipat. Selain sumber gizi dan berkhasiat obat, budidaya tanaman di pekarangan juga meningkatkan nilai estetika rumah dan status sosial pemiliknya.
Langkah kerja pengolahan sampah organim rumah tangga adalah:
1. Pemilahan Sampah: Pilah-pilah sampah sesuai dengan bahannya seperti, sampah organik, kertas, platik, dan kaca. Tempatkan masing-masing jenis sampah pada tempat berbeda dan khusus untuk sampah organik harus segera diolah dalam tempat khusus atau keranjang dekomposer.
2. Keranjang Dekomposer; Siapkan keranjang dari plastik atau bahan lain dengan ukuran menampung sekitar 25-50 kg sampah. Pada dinding kerajang bagian dalam dilapisi dengan karton bekas kemasan produk untuk menyerap cairan kompos. Sedangkan pada bagian bawah dan atas dipasang bantal yang berisi sekam bakar.
3. Cairan Dekomposer: Siapkan cairan yang berisi biang kompos pada alat semprot ukuran 1 liter. Biang kompos dapat dibuat lebih dahulu dengan melakukan fermentasi buah nanas dan gula (lihat bab membuat biang kompos).
4. Peranjangan Sampah: Sebelum dimasukkan ke dalam keranjang dekomposer sampah organik harus dipotong-potong lebih dahulu supaya ukurannya menjadi lebih kecil. Setelah sampah dimasukkan ke dalam keranjang, semprot dengan biang kompos sampai basah (jangan terlalu berair). Tutup dengan bantal sekam bakar dan diberi beban. Jika kita mempunyai sampah lagi, kita tinggal membuka bantal sekam dan mengaduk-aduk sampah baru ditambahkan potongan sampah baru. (Proses ini selalu dilakukan ketika kita mempunyai sampah organik).
5. Pembusukan sampah: proses pembusukan (dekomposisi) sampah berlangsung secara semi aerob (butuh oksigen dalam jumlah kecil) dan membutuhkan waktu 30-40 hari. Jika sampah terlalu becek dan berbau busuk, segera sebarkan arang sekam di atasnya setebal 1 cm.
Teknik mengolah sampah dalam keranjang dekomposer pada awalnya dikenal dengan istilah “Takakura”, dan model ini terus berkembang dengan berbagai modifikasi sesuai potensi masyarakat. Teknik ini biasanya mengundang minat dan lebih diterapkan oleh masyarakat di perkotaan yang tidak punya lahan pekarangan. Pekerjaan mengolah sampah organik rumah tangga memang mudah dan sederhana. Akan tetapi jika tidak diikuti dengan niat, minat dan ketekunan, niscaya pekerjaan ini dapat dilakukan secara berkelanjutan.
2. Sumur Resapan dan Tabungan Kompos
Banyak petani menggali tanah dengan ukuran tertentu untuk menumpuk bahan organik (seresah sisa tanaman). Mereka akan menutup lubang tersebut jika sudah penuh dengan seresah dan akan membongkarnya beberapa bulan kemudian. Praktek ini sebenarnya cukup menarik jika dikombinasikan dengan teknik membuat sumur resapan. Penentuan lokasi dan pengaturan aliran air secara tepat akan membantu masuknya air hujan ke dalam lapisan tanah dalam. Hal lain yang perlu ditambahkan adalah memberi lapisan ijuk dibagian dasar setebal 20 cm sebagai penyaring sekaligus untuk mengurangi penggenangan air.
Berdasar pengalaman beberapa petani, teknik ini cukup membantu jika dipraktekkan pada lahan tegal atau pekarangan yang sering kekeringan. Kelembaban tanah yang terjadi dalam jangka waktu yang lama, sangat berpengaruh pada pertumbuhan tanaman di musim kemarau. Masuknya air ke dalam tanah juga berpengaruh pada ketersediaan air di sumur yang digunakan sebagai sumber air baku keluarga.
Pertimbangan utama dalam membuat sumur resapan dan tabungan kompos adalah kondisi tekstur dan struktur tanah. Pada tanah ringan dan berpotensi longsor, ukuran sumur resapan harus kecil (1x1 M dengan kedalaman 1,5 meter). Pada tanah berat dengan kandungan liat yang tinggi, ukurasn lubang dapat diperlebar (2x2x2 meter). Untuk menghambat terjadinya longsor, pada bagian atas diperkeras dengan lapisan batu dan semen.
3. Budidaya Jahe di Lobang Seresah
Beberapa masyarakat yang tinggal di daerah penggunungan, bercocok tanam jahe di dalam lobang tanah yang dimasuki seresah. Mereka membuat lubang berukuran 2x2x2 meter pada lahan yang datar dan kondisinya lembab (biasanya dekat rumpun bambu). Pada awalnya lobang tersebut dimasuki seresah sampai hampir penuh dan ditunggu beberapa bulan. Setelah lapisan seresah terdekomposisi dan menipis sampai seper-empat (1/4) kedalaman lubang, mereka menebar bibit jahe dan menutupnya dengan tanah tipis-tipis. Tanaman jahe akan tumbuh cepat jika mendapat air dan kondisi lembab. Jika tanaman jahe sudah tua dengan daun-daun menguning dan roboh, mereka menambahkan lagi seresah sampai memenuhi lubang. Setelah seresah yang baru mengalami proses dekomposisinya dan menipis, mereka menebar lagi bibit jahe dan ditutup tanah tipis-tipis. Demikian seterusnya, sampai mereka mendapat tiga lapisan bibit jahe yang ditebarkan.
Praktek bercocok-tanam jahe dalam lobang seresah ini sangat menarik. Masyarakat mendapat tiga keuntungan, yaitu (1) berfungsi sebagai resapan air, (2) tabungan kompos, (3) panen jahe. Kelemahan praktek ini adalah satu siklus usaha membutuhkan kisaran waktu 14-16 bulan, sehingga dalam produktivitas waktu untuk menghasilkan kompos sangat lambat. Jika kita dapat mengatur waktu membuat lubang secara berkala, dimungkinkan produk kompos akan lebih cepat. Akan tetapi untuk panen jahe tetap membutuhkan waktu lebih dari satu tahun.
4. Arisan Kompos
Petani sering memberikan alasan tenaga dan bahan yang tidak cukup, jika ditanya mengapa tidak membuat kompos. Jerami yang berlimpah di musim panen, sering dibiarkan tertumpuk di pojokan sawah atau berserakan di pematang. Untuk menjawab persoalan mereka, beberapa kelompok tani menjalankan arisan kompos. Lima orang petani bersepakat untuk bekerjasama membuat kompos dengan cara bergiliran. Seperti arisan uang, mereka menentukan siapa yang akan dibantu membuat kompos dengan cara dilotre. Mereka secara bersama mengumpulkan bahan organik dan iuran membeli kotoran ternak. Kemudian secara gotong royong, mereka membuat kompos pada lahan anggota yang memenangkan lotre. Dua minggu berikutnya, proses ini diulang dengan menentukan anggota lain yang akan dibantu.
Pola kerjasama arisan kompos menarik untuk diterapkan. Poin pentingnya adalah upaya perbaikan lahan menjadi tanggung-jawab bersama. Jumlah anggota arisan dapat diperbanyak tetapi jumlah orang yang mendapat jatah juga diperbanyak. Setiap anggota harus menyediakan lahan dalam luas tertentu untuk pembuatan kompos. Lahan diupayakan dekat dengan sumber bahan organik, pengaturan air mudah dan permukaan datar.
5. Tong Penghasil Lindi
Masyarakat lebih suka menggunakan pupuk cair ketimbang kompos padat, karena dianggap lebih praktis dan hasilnya lebih cepat kelihatan. Akan tetapi fungsi pupuk cair lebih sebagai sumber nutrisi dan biota pengurai. Sedangkan pupuk organik padat, selain kedua fungsi tersebut adalah sebagai pembenah tanah dengan penambahan bahan organik. Nilai dampak keberlanjutan pupuk padat lebih tinggi dibanding pupuk cair. Cara membuat lindi pupuk cair secara sederhana adalah sebagai berikut:
Bahan dan Alat:
• 1 liter biang kompos atau massa bakteri
• 5 kg hijau-hijauan/daun-daun segar
Catatan: Jangan menggunakan daun dari pohon yang bergetah seperti karet, pinus, damar, nimba, dan yang sulit lapuk seperti pisang, bambu, dan lain-lainnya). Daun berukuran kecil seperti daun lamtoro mengandung nitrogen tinggi. Sedangkan daun yang tipis tapi lebar seperti bayam banyak mengadung unsur kalium.
• 0,5 kg terasi dicairkan dengan air secukupnya
• 1 kg gula pasir/merah/tetes tebu dan dicairkan dengan air
• 30 kg kotoran hewan
• 200 liter air atau secukupnya.
• Ember/gentong/drum yang dapat ditutup rapat
Cara Pembuatan:
• Kotoran hewan dan daun-daun hijau dimasukkan ke dalam drum dan ditambah cairan gula dan terasi kemudian diaduk-aduk.
• Larutkan bakteri dicampur dengan air dan dimasukkan ke dalam drum.
• Drum ditutup rapat tapi diberi selang yang dihubungkan dengan air..
• Setelah 8-10 hari, pembiakan bakteri sudah selesai dan lindi bisa dipanen setiap hari sesuai dengan kebutuhan.
• Lindi disaring dan dimasukkan ke dalam wadah yang bersih (botol) untuk disimpan/digunakan. Sedangkan ampas yang masih mengandung bakteri ditambah tambah air, terasi, dan gula dengan perbandingan yang sama. Demikian seterusnya.
Kegunaan:
• Mempercepat pengomposan dari 3-4 bulan menjadi 30-40 hari.
• Dapat digunakan langsung sebagai pupuk semprot, apabila tanah sudah diberi kompos (subur), tetapi apabila tanah kurang subur/tandus, penggunaan langsung sebagai pupuk tidak dianjurkan.
• Pupuk cair (larutan bakteri) ini tidak diperbolehkan untuk dicampur dengan bakteri lain, terutama bahan kimia atau bahan untuk pestisida lainnya seperti tembakau.
6. Gudang Silase
Makanan ternak yang bersifat awet dan dan dapat disimpan sangat dibutuhkan masyarakat. Kelimpahan makanan di musim hujan atau masa panen meski diolah untuk mempersiapkan kebutuhan di musim kemarau. Melalui teknik pengomposan, kita dapat membuat makanan ternak yang disimpan dan digunakan dalam waktu yang cukup lama. Cara membuat silase secara sederhana adalah sebagai berikut:
Bahan dan Alat:
• 20 kg daun-daunan yang mengandung nitrogen tinggi. Biasanya tersedia dari tanaman polong-polongan seperti kaliandra, petai, turi, dll.
• 100 kg rumput
• 400 kg jerami kering
• 1 kg tempe busuk
• 5 kg gula merah atau tetes/molases
• Beberapa butir ragi (jika untuk makanan ternak jantan)
• 10 liter air.
• Bambu untuk aerasi
• Ember, panci untuk memasak.
Cara Pembuatan:
• Rebus air sampai mendidih kemudian masukkan gula/tetes dan aduk sampai rata. Estela agak hangat masukkan tempe busuk dan terus aduk sampai hancur.
• Daun-daunan ditumbuk lalu dimasukkan ke dalam larutan dan dibiarkan selama satu hari.
• Jerami ditumpuk pada tempat khusus yang sudah dipasangi bambu untuk aerasi. Lapisan pertama setinggi 20-30 cm, kemudian di atasnya ditumpuk rumput sambil dipotong-potong dan disiram dengan larutan gula.
• Penumpukan ini terus dilakukan sampai mendapatkan lima Lapisan jerami dan rumput.
• Proses fermentasi selama 12-15 hari.
Kegunaan:
• Jerami menjadi awet dan renyah, siap untuk makanan ternak.
D. Biogas
Tehnologi biogas sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sekitar tahun delapan puluhan, teknologi ini sudah diperkenalkan dengan kontruksi kubah (dom). Akan tetapi, samping mahal kontruksi ini membutuhkan persyaratan yang cukup sulit untuk dikembangkan. Kubah beton dengan diameter 6 m dan membutuhkan kotoran sapi yang cukup banyak untuk menghasilkan gas dalah salah satu kelemahannya. Konstruksi biogas yang cukup sederhana, murah dan bisa dibangun oleh masyarakat dalam skala rumah tangga menjadi pilihannya.
Persoalan limbah ternak yang sangat berlimpah semakin komplek jika tidak dikelola secar baik. Satu ekor sapi secara rata-rata menghasilkan 20 Kg kotoran padat dan cair. Selama ini potensi bahan organik ini dianggap sebagai ancaman bagi kesehatan manusian dan lingkungan. Kebiasaan masyarakat pedesaan yang menumpuk kotoran ternak di dekat kandang sampai selama enam bulan, memang bisa menjadi sumber penyakit dan pencemar air. Oleh karena itu teknologi biogas dapat menjadi salah satu solusi untuk menjawab persoalan ini, sekaligus membuka ruang baru bagi penyediaan energi secara mandiri.
Teknologi biogas dengan bahan plastik Poly Ethylene (UV) cukup menjanjikan karena murah dan mudah dilakukan dalam sekala rumah tangga yang rata-rata hanya memiliki dua ekor sapi. Secara sederhana urutan membuat teknologi biogas ini adalahsebagai berikut:
1. Membuat digester dan tandon gas
Potong lembaran plastik Poly Ethylene (UV) yang berupa lembaran plastik rangkap dengan ukuran 5 m (untuk tendon gas) dan 7 m untuk digester.
press kedua ujung plastik dengan menggunakan press plastik atau menggunakan lilin. Sisakan sedikit lubang (30 cm) pada bagian tengah untuk pemasangan pipa lubang masuk (in let) dan lubang keluar (out-let) digester.
Bentangkan 2 lembar plastik tersebut di halaman yang luas dan datar, kemudian Ikat kedua lubang masuk dan keluar digester dengan tali. Masukkan udara dengan menggunakan blower atau pompa ban sampai plastik tersebut mengembang sempurna.
Untuk menguji kebocoran sambungan plastik, larutkan detergen dengan air kemudian siramkan dengan hati-hati pada plastik. Amati jika ada gelembung udara yang muncul. Perbaiki bagian yang bocor.
2. Memasang lubang keluaran gas
Letakkan cincin karet yang diapit oleh cincin PVC pada lubang keluaran gas lalu sambungkan dengan shock drat dalam dan luar, sehingga terdapat lubang keluaran gas yang kedap udara. Gunakan lem PVC untuk memperkuat sambungan tersebut.
Sambungkan ujung PVC tersebut dengan selang air dan kunci dengan menggunakan klem agar sambungan tersebut tidak bergerak.
3. Memasang lubang masuk (in let) dan keluar (out let)
Potong PVC sebagai lubang masuk dan lubang keluar. Sambungkan dengan Knee dan atau T, kemudian masukkan paralon pada lubang keluar.
Masukan plastik digester dan lipat plastik sisa mengelilingi paralon lalu ikat dengan karet ban. Untuk melindungi karet agar tahan lama, lapisi sambungan tersebut dengan menggunakan isolasi ban.
4. Membangun instalasi digester
Gali lubang tanah dengan ukuran 7m x1m x 1m (desain ini cukup untuk minimal 2 ekor sapi). Jika kondisi permukaan tanah miring dan bersifat labil, dianjurkan menggunakan konstruksi batu bata.
Letakkan plastik digester pada galian dan usahakan platik tidak tertekuk, terpelintir, terlipat atau tertusuk sisa perakaran yang menyebabkan plastik bocor.
Isi digester tersebut dengan udara sampai mengembang sempurna lalu lipat ujung selang keluaran gas sehingga udara tidak keluar.
Isi paralon lubang masukan dan keluaran dengan air untuk menghalangi agar udara tidak keluar.
Digester siap diisi dengan kotoran ternak.
5. Membangun instalasi bak pemasukan dan bak keluaran
Bak pemasukan dan keluaran bisa dibuat dari pasangan batu semen atau bak platik.
Sambungkan pipa paralon dengan bak penampung atau bak keluaran.
Periksa kembali agar tidak terjadi kebocoran pada sambungan tersebut.
6. Membuat regulator gas
Regulator gas berfungsi untuk mengatur tekanan gas. Jika gas tidak digunakan maka tekanan gas dalam tendon gas dan digester menjadi tinggi yang dalam jangka panjang tekanan ini akan merusak plastik.
Regulator dibuat dari pipa paralon atau botol aqua 1 liter. Sambung paralon menggunakan paralon T. Sambungkan dua ujung T ke paralon dari digester dan paralon menuju tendon gas. Ujung T ketiga dimasukkan kedalam botol aqua atau paralon tertutup dengan lubang pada bagian atasnya. Isi botol aqua atau tabung paralon dengan air.
Jika tekana gas penuh regulator akan melepas tekanan gas. Jika tekanan gas kurang, regulator meneruskan tekanan gas untuk disimpan dalam tandon gas.
7. Modifikasi Kompor Gas
kompor gas yang dijual secara umum dan kompor gas bantuan program konversi minyak tanah dirancang untuk digunakan dengan menggunakan LPG dengan tekanan gas yang cukup tinggi, sementara tekanan dari biogas tidak terlalu tinggi. Oleh karena itu perlu dilakukan modifikasi tertentu.
Pipa besi gas diganti dengan paralon ½” sedangkan spuyer dibuang atau disambung langsung dan tidak difungsikan. Sementara bagian lain tetap seperti semula. Penggunaan kompor seperti penggunaan kompor biasa kecuali pemantik otomatis yang tidak bisa difungsikan.
Sambungkan kompor yang telah disesuaikan dengan selang dari biogas.
Pada waktu menggunakan kran biogas dibuka dan disukut dengan api secara hati-hati.
8. Pengoperasian
Hal yang perlu diperhatikan dalam pengoperasian biogas adalah laju pengumpanan kotoran sapi. Jika jumlah sapinya 2 ekor maka pemasukan kotoran sapi harus dimasukkan setiap hari. Akan tetapi, jika jumlah sapi lebih dari 6 ekor maka tidak semua kotoran bisa dimasukkan. Jika kotoran terlalu banyak, kotoran sapi yang ada di dalam akan keluar lagi, karena terdorong oleh kotoran yang baru sehingga gas belum sempat dihasilkan.
9. Pemeliharaan
Kebocoran digester yang pernah terjadi adalah tertimpa ranting pohon, terinjak kucing atau ayam. Platik sangat peka terhadap tekanan tertentu terutama jika saat terisi gas. Untuk mengurangi resiko ini anyaman bambu bisa dipakai sebagai penutup. Jika plastik gas tidak pernah terisi penuh ada kemungkinan terjadi kebocoran pada plastik gas. Jika disertai bau yang cukup menyengat kemungkinan kebocoran terjadi di plastik digesternya. Gunakan sabun detergent yang dilarutkan dalam air untuk melacak titik kebocoran. Gunakan lakban untuk menambal titik yang bocot.
BAHAN PEMBUATAN KONTRUKSI BIOGAS
1. Alat Pres Plastik
2. Blower
3. Plastik PE (Poly ethylene) ukuran 7 m x 1 m untuk tabung digester dan 5x1 m tendon gas
4. Klem
5. Selang dan lem PVC
6. T PVC (Paralon)
7. Cincin Karet dan PVC
8. Tali karet dari bekas ban dalam sepeda motor
9. Isolasi
10. Sock drat dalam ½” dan shock drat dalam luar ½”
PROSES PEMBUATAN KONTRUKSI BIOGAS
1. Memotong plastik PE sepanjang 7 meter dan 5 meter
2. Pengepresan ujung platik yang berlubang
3. Pemasukan gas dengan blower
4. Pengetesan kebocoran plastik
5. Memasang lubang keluaran gas
6. memasang selang untuk aliran gas
7. Menguji kebocoran
8. Memasang lubang masuk (in let)
9. Memasang lubang keluar (out let)
10. Membangun instalasi digester
11. Membangun instalasi bak pemasukan dan bak keluaran
PROBIOTIK
1. Bakteri Fotosintetik ( Rhodopseudomonas spp )
Bakteri fotosintetik adalah mikroorganisme yang mandiri dan swasembada. Bakteri ini membentuk senyawa-senyawa yang bermanfaat dari sekresi akar-akar tumbuhan, bahan organic dan atau gas-gas berbahaya (misalnya hydrogen sulfide), dengan menggunakan sinar matahari dan panas bumi sebagai sumber energi. Zat-zat bermanfaat tersebut meliputi asam amino, asam nukleik, zat-zat bioaktif dan gula, yang semuanya mempercepat pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Hasil-hasil metabolisme yang diproduksi oleh bakteri ini dapat diserap langsung oleh tanaman dan juga berfungsi sebagai substrat bagi mikroorganisme lain sehingga jumlahnya terus dapat bertambah. Jadi pertumbuhan bakteri fotosintetik di dalam tanah juga akan meningkatkan pertumbuhan bakteri lainnya, sebagai contoh VA mycorhyza dalam zona perakaran akan bertambah karena tersedianya senyawa-senyawa nitrogen (asam amino) yang dikeluarkan bakteri fotosintetik yang berguna sebagai substrat. VA mycorhyza dapat hidup berdampingan dengan Azotobacter, sebagai baketri pengikat nitrogen dan meningkatkan kemampuan tanaman leguminosa untuk mengkat nitrogen.
2. Bakteri Asam Laktat( Lactobacillus spp.)
Bakteri asam laktat menghasilkan asam laktat dari gula dan karbohidrat lain yang dihasilkan oleh bakteri fotosintetik dan yeast (ragi). Berbagai jenis makanan dan minuman seperti yogurt dan asinan, sudah sejak lama dibuat orang dengan menggunakan bakteri asam laktat. Namun bakteri asam laktat sendiri adalah suatu zat yang dapat mengakibatkan kemandulan (sterilizer). Oleh karena itu asam laktat akan menekan pertumbuhan mikroorganisme yang merugikan dan meningkatkan percepatan perombakan bahan-bahan organik. Baketri asam laktat dapat menghancurkan bahan-bahan organic seperti lignin dan sellulosa, serta memfermentasikannya tanpa menimbulkan senyawa-senyawa beracun yang ditimbulkan dari pembusukan bahan organik. Bakteri asam laktat mempunyai kemampuan untuk menekan pertumbuhan Fusarium, yaitu suatu mikroorganisme merugikan yang menimbulkan penyakit pada lahan yang terus menerus ditanami.
3. Ragi/Yeast (Saccharomyces Spp)
Melalui proses fermentasi Ragi menghasilkan senyawa-senyawa bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman dari asam amino dan gula di dalam tanah yang dikeluarkan oleh bakteri fotosintetik atau bahan organic dan akar-akar tanaman. Zat-zat bioaktif seperti hormone dan enzim yang dihasilkan oleh Ragi meningkatkan jumlah sel aktif dan perkembangan akar. Sekresi Ragi meningkatkan jumlah sel aktif dan perkembangan akar. Sekresi Ragi adalah substrat yang baik untuk mikroorganisme effectif seperti bakteri asam laktat dan Actinomycetes.
4. Actinomycetes
Actinomycetes merupakan suatu grup mikroorganisme yang strukturnya merupakan bentuk antara bakteri dan jamur, mereka menghasilkan zat-zat anti mikroba dari asam amino yang dikeluarkan oleh bakteri fotosintetik dan bahan organik. Zat-zat anti mikroba ini menekan pertumbhan jamur dan bakteri. Actinomycetes dapat berdampingan dengan baketri fotosintetik. Dengan demikian kedua spesies ini sama-sama meningkatkan mutu lingkungan tanah, dengan meningkatkan aktivitas anti mikroba tanah.
5. Jamur Fermentasi
Jamur fermentasi (peragian) seperti Aspergilus dan Penicillium menguraikan bahan organic secara cepat untuk menghasilkan alkohol, ester dan zat-zat anti mikroba. Pertumbuhan jamur ini membantu menghilangkan bau dan mencegah serbuan serangga dan ulat-ulat yang merugikan dengan cara menghilangkan penyediaan makanannya.
Salam Petani
Timbul Joglo Tani
ayo yang mau menambahkan tulisan ditunggu
BalasHapussip mas... apik!! :)
BalasHapusayo mbak nyumbang
BalasHapuspingin belajar banyak pak mulai pertanian, peternakan dan teknologi tepat gunanya
BalasHapus@antoo, datang aja ke joglo tani
BalasHapusnumpang belajar pak timbul, kemarin saya kejoglo tani panjenegan mungkin sedang sibuk. minta bantuanya kalau diperkenankan saya minta dikirim ke email saya tentang cara membuat ragi kompos. terima kasih.
BalasHapusMaaf mas, Ajeng tangklet. Joglo Tani alamat lengkapnya dimana, Slemannya?
BalasHapus